1. Terima anggaran saksi, parpol seperti fakir miskin
Merdeka.com - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) meminta partai politik dana saksi partai politik sebesar Rp 654,9 miliar. Bila parpol menerima sama saja membuktikan bahwa parpol fakir miskin, yang tidak mampu membayar saksi parpol di TPS.
"Partai politik seperti fakir miskin yang harus terus menerus dipelihara oleh negara. Padahal, banyak orang miskin dan janda terlantar, negara selalu mengabaikan kehidupan mereka," ujar Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi.
Seharusnya, dalam logistiknya untuk anggaran saksi sudah disiapkan oleh pimpinan partai. Bukan dengan cara meminta anggaran negara dengan seolah-olah partai politik itu miskin atau para caleg mereka miskin, tidak punya duit. Salah satu poin penolakan terhadap dana saksi partai politik adalah mekanisme pemberian dana. Di mana dana tersebut akan ditampung dan dengan bagaimana dana tersebut diberikan.
2. Mekanisme pemberian belum jelas
Salah satu poin penolakan terhadap dana saksi partai politik adalah mekanisme pemberian dana. Di mana dana tersebut akan ditampung dan dengan bagaimana dana tersebut diberikan.
Bawaslu sendiri diyakini tidak mampu mengelola dana saksi tersebut karena hal ini akan semakin membebani. "Bawaslu secara kelembagaan sebagai badan pengawas, sangat terbebani bila alokasi anggaran ditempatkan pada rekening Bawaslu," ujar Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi.
Terbebani, katanya, disebabkan lembaga Bawaslu bukan lagi sebagai pengawas pemilu, tetapi sudah menjadi "lembaga pembina" seperti kementerian dalam negeri, bila rekening anggaran saksi untuk partai politik ada dalam rekening Bawaslu.
3. Lebih baik untuk korban bencana
Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum (Bappilu) Partai NasDem Provinsi Papua, Demas Patty menegaskan menolak menerima dana pengawasan Pemilu yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada sejumlah parpol.
"Sesuai dengan instruksi partai dan hasil rakernas dua hari sebelumnya. Partai NasDem di Papua juga menegaskan menolak menerima dana pengawasan Pemilu," kata Demas seperti dikutip dari Antara, Senin (27/1).
Ia menyampaikan bahwa dana pengawasan Pemilu yang berjumlah ratusan miliaran rupiah untuk 12 parpol di tanah air, itu lebih baik disumbangkan untuk rakyat yang terkena bencana disejumlah daerah.
"Saya kira dana sebesar itu akan lebih bijak jika digunakan untuk menanggulangi bencana disejumlah daerah dari pada digunakan untuk partai," katanya.
4. Bawaslu jadi kasir Parpol
Pembiayaan honor saksi dalam pelaksanaan pemilu melalui dana APBN dinilai menjadikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai alat partai politik. Padahal UU Nomor 2/2008 mengatur secara tegas, tidak ada APBN dan APBD untuk kebutuhan partai politik di tanah air.
Ketua Perludem, Didik Supriyanto mengatakan, sebelumnya parpol memang direncanakan mendapat pembiayaan dari negara, namun ditolak. Sebab mereka tidak ingin repot dalam pembuatan laporan pertanggungjawaban.
"Sedangkan sekarang ini, mereka tidak perlu susah-susah karena ada Bawaslu yang meminta dana tersebut. Jadi, lembaga itu dijadikan alat oleh parpol," kata Didik pada Republika di Jakarta, Ahad (26/1).
5. Dana saksi bisa jadi 'bom waktu' parpol
Sekjen DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo mengingatkan partai politik peserta Pemilu 2014 selalu waspada terkait saksi parpol dari Pemerintah. Menurut Tjahjo, dana saksi tersebut seperti halnya 'bom waktu' bagi parpol.
Bom waktu yang dimaksud Tjahjo adalah penggunaan dan laporan pertanggungjawaban uang dari APBN untuk pembiayaan saksi partai peserta pemilu.
"Isu krusial yang harus bisa dijawab apakah partai mampu menjamin bahwa uang saksi dari Negara akan sampai kepada saksi partai di setiap TPS. Bagaimana penyerahannya? Lewat KPU atau langsung dibagikan kepada masing-masing parpol," ujar Tjahjo.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar